WHAT FAVORS WOULD YOU DENY?

Article Image

Bismillaah,

WHAT FAVORS WOULD YOU DENY?

Sebuah narasi viral di media sosial, ‘guru dianggap beban negara.’ Realitanya, mereka tidak minta rumah dinas, mobil dinas, uang beras, apalagi studi banding ke luar negeri.

Akhirnya, muncul banyak tanggapan netizen. Salah satunya berbunyi, ‘mustahil seseorang bisa menjadi menteri, tanpa kehadiran seorang guru.’ Meski, guru tidak minta pembelaan itu. Ketika murid bisa bermanfaat di masyarakat, itulah rasa syukurnya seorang guru.       

Di tengah bangsa ini sedang mensyukuri nikmat kemerdekaannya yang ke-80, narasi tersebut menjadi refleksi bermakna bagi para guru khususnya, sambil mentadabburi firman Allah, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” 
(QS. 55:13).

Di balik euforia tasyakuran itu, seorang Muslim seharusnya tidak hanya berhenti pada rasa bangga sebagai bangsa yang merdeka, tetapi harus ada kesadaran bahwa kemerdekaan adalah nikmat terbesar dari Allah SWT. ”Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. 16:53).

Semua kebaikan itu datangnya dari Allah. Termasuk nikmat-nikmat kebaikan yang ditanamkan guru kepada murid-muridnya, semata datang dari Allah. Seorang guru tidak pernah berharap lain dari dedikasi mendidik murid-muridnya, itu semata nikmat kebaikan dari Allah yang harus benar-benar disyukuri.

Rasa syukur menjadi inti ibadah dan manifestasi dari tauhid yang lurus. Dalam syukur, terkandung tiga hal penting. Pertama, mengakui nikmat Allah. Bahwa setiap hal yang kita miliki berasal dari-Nya. Kedua, mensyukuri nikmat Allah, baik dengan hati, lisan, maupun perbuatan. Dan ketiga, menggunakan nikmat untuk taat kepada Allah, bukan untuk berbuat maksiat.

Delapan dekade tentu bukan waktu yang singkat. Kita telah melewati masa revolusi fisik, pembangunan orde lama dan baru, hingga reformasi yang membuka jalan demokrasi. Bangsa ini tumbuh, berubah, dan berkembang dengan segala dinamikanya.

Namun, di balik gegap gempita perayaan itu, Haidar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengingatkan, meski telah banyak kemajuan, kemerdekaan yang sudah berusia delapan dasawarsa ini, kita sedang menghadapi tantangan serius berupa penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, hingga dominasi oligarki.

Padahal ujarnya, bangsa ini seharusnya bersyukur atas berkah kemerdekaan dan menghargai perjuangan rakyatnya, bukan malah terjebak dalam ‘salah kaprah dan ajimumpung dalam mengurus bangsa dan negara, yang menyebabkan Indonesia menderita.’

Hari ini Indonesia menjadi semakin menderita, karena dahulu penjajah datang dari luar, kini musuh datang dari dalam. Pertama, korupsi dan keserakahan, yang merusak sendi-sendi keadilan dan mencederai perjuangan para syuhada. Kedua, dekadensi moral, seperti pergaulan bebas, narkoba, dan kerusakan akhlak generasi muda yang jauh dari nilai-nilai Islam.

Ketiga, perpecahan umat, seperti fanatisme buta terhadap kelompok atau kepentingan politik, hingga melupakan ukhuwah Islamiyah. Dan keempat, kemiskinan dan ketidakadilan sosial, seperti kesenjangan yang semakin tajam antara si kaya dan si miskin. 

Dalam kondisi ini, negara harus hadir untuk memastikan dua hal, yaitu rakyat tidak lapar, dan rasa aman dari berbagai problem hidupnya. Firman Allah, "Yang memberikan makan dari rasa lapar, dan rasa nyaman dari ketakutan" (QS. 106:3).

Memperturutkan syahwat duniawi di atas adalah sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan panjang dan penuh pengorbanan para syuhada kita yang berjihad melawan penjajahan selama ratusan tahun.

Ketika kita masih asyik memperturutkan syahwat duniawi tersebut, sungguh kita sedang mengkufuri nikmat kemerdekaan negeri ini. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (What favors would you deny?).
 
Kesimpulan

Mendustai nikmat kemerdekaan merupakan penghianatan terhadap jihad para syuhada kita yang tulus. Dan mensyukurinya menjadi sikap tauhid kita yang lurus.  
Wallahu A’lam …

Oleh : Nur Alam, Jum’at Penuh Berkah, 28 Shafar 1447 H./22 Agustus 2025 M. Pukul 05.25 WIB.

#sekolahislamterbaik
#smartschool