Bismillaah,
PEOPLE PLEASER
Jangan remehkan untuk berbuat baik sekecil apa pun. Meski, dengan hanya senyum manis ketika bertemu, atau hanya membantu urusan saudara kita yang ringan.
Seseorang menjadi mulia, ketika mau berbuat baik kepada sesama dan lingkungannya. Karena orang yang berbuat baik, selain membawa manfaat kepada orang lain dan lingkungannya, juga bermanfaat kepada dirinya sendiri.
Rasulullah SAW., bersabda, “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun, walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.”
(HR. Abu Daud).
Dalam berbuat baik kepada siapapun, harus dilakukan dengan niat penuh ketulusan, hati yang lapang, jiwa besar dan tanpa beban. Bahkan tidak ada vested interest (kepentingan pribadi), atau ‘ada udang di balik batu.’
Seperti pesan Allah, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. 98:5).
Di sisi lain, pernahkah kita merasa ‘terpaksa’ melakukan suatu hal yang sebenarnya tidak kita inginkan, namun tetap dilakukan karena tidak ingin mengecewakan orang lain? Ketika hal tersebut dilakukan, maka kita menjadi bagian dari People Pleaser.
People pleaser adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan keinginan orang lain dan melupakan keinginan diri sendiri. Seseorang dengan people pleaser, tidak ingin mengecewakan orang lain, tidak ingin dijauhi orang lain, dan merasa semua hal adalah tanggung jawabnya yang harus dilakukan.
Dia cenderung melakukan apa saja, agar orang dan lingkungan di sekitarnya melihat dia banyak berkontribusi terhadap kehidupan orang lain. Dia bergerak karena daya dorong untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain lewat bersikap sesuai atau bahkan melebihi ekspektasi orang-orang di lingkungannya.
Menurut seorang social psychologist, Susan Newman, seorang dengan gejala people pleaser akan menomorsatukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan diri. Tujuannya hanya untuk diterima, disukai, dan dianggap paling hebat dalam segala hal.
Menjadi orang-orang people pleaser itu sangat melelahkan. Mereka lupa, bahwa esensi hidupnya bukan tentang mengeratkan hubungannya dengan sesama manusia saja, namun yang terpenting adalah mengeratkan dirinya dengan Allah. Inilah yang menjadikan manusia kehilangan makna hidupnya karena menjauh dari Rabb-nya.
Dalam koteks di atas, Imam Syafi’i sangat mewanti-wanti kita, “Engkau takkan mampu menyenangkan semua orang. Karena itu, cukup bagimu memperbaiki hubunganmu dengan Allah, dan jangan terlalu peduli dengan penilaian manusia.”
Menurut World Giving Index (WGI) 2021, Indonesia dikukuhkan sebagai negara paling dermawan di dunia. Namun prestasi itu didorong oleh keinginan untuk nampak ‘dermawan’, tidak enak kalau tidak nyumbang (people pleaser), bukan untuk program jangka panjang, seperti pendidikan, kesehatan atau pemberdayaan ekonomi umat.
Kadang kita asyik memberikan ‘ikan’, padahal memberikan ‘kail’ jauh lebih penting untuk seseorang lebih mandiri. Kita terlena, dengan membantu orang lain sebagai perbuatan baik, tapi lupa bahwa kita bisa terperosok dalam perbuatan sia-sia. Karena membantu program yang bersifat sustainable charity (pendidikan, kesehatan atau pemberdayaan ekonomi umat), jauh lebih penting dari lainnya.
Maka, hati-hati dengan dampak negatif dari people pleaser, seperti pertama, menutupi kenyataan yang buruk dengan kebohongan. Kedua, Menjadi pribadi yang bermuka dua. Ketiga, Haus dengan pujian. Dan keempat, Tidak bersyukur terhadap setiap pencapaiannya dan selalu merasa kurang atau jarang mengapresiasi dirinya sendiri.
Bagaimana dengan Islam? Dalam Islam, hal tersebut dikenal dengan istilah itsar. Itsar berarti mendahulukan orang lain daripada diri sendiri dalam urusan duniawi tanpa pamrih apapun, karena hanya berharap balasan ukhrawi. Inilah yang membedakan antara people pleaser dengan mereka yang memiliki sifat itsar yang berorientasi pada Allah pleaser.
Seorang Muslim yang berorientasi pada Allah pleaser, sangat yakin bahwa semua kebaikan yang dilakukan untuk orang lain, sejatinya adalah berbuat baik pada diri sendiri, untuk mendapat ridha-Nya dan hanya berharap balasan -Nya. ”Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri.” (QS. 17:7).
Simpulan
Berbuat baik dan membantu orang lain itu sangat terpuji. Namun bukan dalam level People Pleaser, melainkan Allah Pleaser. Dalam berbuat baik kepada orang lain harus memperhatikan kemampuan diri, bukan memaksakan diri di luar kemampuan.
Wallahu A’lam …
Oleh : Nur Alam, Jum’at Penuh Berkah, 11 Dzulqa’dah 1446 H./9 Mei 2025 M. Pukul 05.25 WIB.